BahasBerita.com – Kekerasan di Sudan mencapai puncaknya dengan tewasnya ribuan warga sipil di El-Fasher, ibu kota Darfur Utara, dalam sebuah pembantaian massal yang dilakukan oleh pasukan Rapid Support Forces (RSF). Setelah pengepungan selama 18 bulan, RSF berhasil merebut kota strategis ini dan melakukan serangkaian aksi kekerasan yang menimbulkan krisis kemanusiaan besar. Laporan resmi dari Tentara Sudan (SAF) dan organisasi medis independen mengonfirmasi jumlah korban jiwa yang sangat tinggi, sementara komunitas internasional mengecam aksi tersebut sebagai genosida dan menyerukan investigasi mendalam.
Pembantaian di El-Fasher terjadi setelah RSF, di bawah komando Mohamed Hamdan Daglo, menguasai kota tersebut setelah bertahun-tahun pengepungan yang menyebabkan isolasi total bagi warga sipil. SAF, yang dipimpin oleh Komandan Abdel Fattah al-Burhan, kehilangan kendali atas wilayah ini dalam konflik yang semakin memburuk antara kedua kekuatan militer. Menurut data terbaru yang dirilis oleh SAF, setidaknya 2.000 warga sipil tewas dalam serangan RSF, sedangkan Sudan Doctors Network memperkirakan korban mencapai 1.500 orang. Bukti-bukti video yang disiarkan oleh media internasional seperti Al Jazeera dan citra satelit oleh Humanitarian Research Lab Yale memperlihatkan eksekusi massal dan pemakaman massal yang menimbulkan keprihatinan luas.
Situasi kemanusiaan di El-Fasher dan sekitarnya sangat memprihatinkan. Lebih dari 1,2 juta orang terperangkap tanpa akses terhadap pangan, air bersih, dan perawatan medis. RSF telah menutup akses bantuan kemanusiaan dengan membangun barikade sepanjang 56 kilometer, menghalangi evakuasi dan distribusi bantuan. Komunikasi satelit di wilayah sepanjang pengepungan juga terputus, sehingga menghambat koordinasi bantuan internasional. Palang Merah Internasional (IFRC) dan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) melaporkan tidak hanya korban meninggal, tetapi juga kematian di kalangan relawan medis yang mencoba memberikan pertolongan.
Konteks konflik di Darfur bukanlah hal baru. Wilayah ini telah lama menjadi pusat pertikaian antara kelompok bersenjata, termasuk RSF, yang dikenal sebagai pasukan paramiliter dengan sejarah keterlibatan dalam pelanggaran hak asasi manusia. Dalam perang saudara Sudan yang semakin memanas tahun ini, RSF diduga mendapat dukungan dari Uni Emirat Arab (UEA), yang memperuncing dinamika regional. Negara-negara tetangga seperti Mesir, Libya, Turki, Iran, Rusia, Chad, dan Kenya juga terlibat secara tidak langsung dalam menjaga kepentingan geopolitik masing-masing, menambah kompleksitas konflik bersenjata yang merusak stabilitas Sudan.
Respons internasional cukup cepat namun masih terbatas dalam tindakan di lapangan. Dewan Keamanan PBB mengeluarkan kecaman kuat, menyebut peristiwa di El-Fasher sebagai potensi genosida dan menyerukan investigasi independen. Al-Harith Idriss al-Harith Mohamed, perwakilan Sudan di PBB, menyatakan bahwa pemerintah Sudan mengecam keras kekerasan tersebut dan meminta dukungan internasional untuk menghentikan pembantaian. Tom Fletcher, Wakil Sekretaris Jenderal PBB untuk Kemanusiaan, mengingatkan bahwa situasi ini “merupakan krisis kemanusiaan yang paling parah di Afrika saat ini” dan mendesak langkah cepat untuk memastikan akses bantuan serta perlindungan warga sipil.
Berikut ini ringkasan data korban dan kondisi bantuan kemanusiaan yang terhambat di El-Fasher:
| Kategori | Jumlah/Kondisi | Sumber | 
|---|---|---|
| Korban jiwa warga sipil | 1.500 – 2.000 orang | Sudan Doctors Network & MUSAD SAF | 
| Warga terjebak tanpa akses bantuan | 1,2 juta orang | WHO & IFRC | 
| Barikade penutupan akses bantuan | 56 kilometer sepanjang pengepungan | Palang Merah Internasional | 
| Durasi pengepungan | 18 bulan | PBB & Humanitarian Research Lab Yale | 
| Jumlah relawan medis meninggal | Lebih dari 20 orang | IFRC & Sudan Doctors Network | 
Pembantaian di El-Fasher berpotensi memperluas konflik yang sudah berlangsung selama bertahun-tahun di Darfur dan wilayah Sudan lainnya. Krisis ini bukan hanya krisis kemanusiaan, tetapi juga mengandung potensi genosida karena pembunuhan sistematis terhadap warga sipil yang terperangkap dalam konflik bersenjata. Para ahli memprediksi meningkatnya risiko kekerasan yang lebih meluas jika pasukan RSF tidak segera ditahan.
Langkah diplomatik internasional saat ini fokus pada desakan agar Dewan Keamanan PBB mengusulkan resolusi penyelidikan dan pemberian akses kemanusiaan tanpa batas ke wilayah yang terdampak. Negara-negara regional dan internasional diharapkan memainkan peran konstruktif untuk menahan eskalasi dan mendorong Sudan menuju penyelesaian politik yang berkelanjutan. Namun, kompleksitas geopolitik serta kepentingan asing yang bertentangan menjadi tantangan besar untuk meredakan konflik.
Dalam jangka pendek, kebutuhan mendesak adalah penghentian langsung aksi kekerasan, pembukaan akses bantuan kemanusiaan, dan evakuasi warga sipil rentan yang selama ini terjebak dalam pengepungan. Provokasi militer dan kurangnya koordinasi dapat memperburuk situasi dan membuat trauma sosial kian mendalam, sehingga kerja sama internasional serta pengawasan ketat terhadap pelaku kekerasan sangat diperlukan.
Sudan kini menghadapi titik kritis dalam sejarah konflik dan krisis kemanusiaan yang harus segera direspons agar tragedi seperti pembantaian El-Fasher tidak menjadi pola berulang yang menghancurkan kehidupan jutaan warga. Para pengamat internasional menegaskan bahwa perhatian global dan solidaritas kemanusiaan mutlak diperlukan untuk mendorong perubahan nyata dan mencegah genosida lebih lanjut di Darfur dan seluruh Sudan.
 BahasBerita BahasBerita Informasi Terbaru Seputar Internet
BahasBerita BahasBerita Informasi Terbaru Seputar Internet


 
						
 
						
 
						
