Pembantaian Massal di El-Fasher: Ribuan Warga Sipil Tewas

Pembantaian Massal di El-Fasher: Ribuan Warga Sipil Tewas

BahasBerita.com – Pembantaian ribuan warga sipil di El-Fasher, salah satu kota utama di wilayah Darfur, mengukuhkan Sudan berada dalam krisis kemanusiaan terparah yang pernah tercatat di abad ini. Setelah pasukan paramiliter Rapid Support Forces (RSF) merebut El-Fasher dari kendali Angkatan Bersenjata Sudan (SAF) setelah pengepungan selama lebih dari 18 bulan, terjadi eskalasi kekerasan yang menewaskan antara 1.500 hingga 2.200 jiwa dalam waktu hanya tiga hari. Laporan dari Jaringan Dokter Sudan, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), dan analisis citra satelit Yale Humanitarian Research Lab mengungkap eksekusi massal warga sipil, penyerangan rumah sakit terakhir yang masih beroperasi, serta pemblokiran akses bantuan kemanusiaan oleh RSF yang memperparah penderitaan penduduk.

Pembantaian Massal di El-Fasher, Sudan: Kronologi Singkat
Perebutan El-Fasher oleh RSF terjadi setelah berbulan-bulan pengepungan yang menghancurkan infrastruktur hingga menimbulkan kelaparan massal. Dalam minggu-minggu terakhir, pasukan RSF melancarkan serangan besar-besaran yang menyingkirkan perlawanan SAF di kota tersebut. Saksi mata yang berhasil melarikan diri menggambarkan situasi mencekam dengan suara ledakan dan tembakan bertubi-tubi mengiringi penyerangan brutal. Laporan dari Jaringan Dokter Sudan mencatat adanya pembantaian terencana yang dilakukan dengan kejam terhadap warga sipil, termasuk anak-anak dan perempuan. Rumah sakit yang menjadi tempat perlindungan terakhir diserang dan alat medis dihancurkan sehingga memperburuk kondisi korban luka.

Siapa Aktor Utama dalam Konflik Sudan?
Konflik berdarah ini merupakan puncak perseteruan antara dua kekuatan militer utama Sudan—RSF yang dipimpin oleh Mohammed Hamdan Hemedeti Dagolo dan Angkatan Bersenjata Sudan (SAF) yang berada di bawah komando Jenderal Abdel Fattah al-Burhan. RSF, awalnya pasukan paramiliter berbasis di Darfur, mengambil peran sentral dalam perebutan kekuasaan sejak terjadinya perang saudara pada 2023. Berbeda dengan SAF, RSF dikenal dengan taktik kekerasan terorganisir dan berkali-kali dituduh melakukan pelanggaran hak asasi manusia berat. Perebutan pengaruh dan legitimasi dinilai menjadi faktor utama yang memicu ekploitasi brutal terhadap warga sipil. Pertikaian ini juga mendapat respon berbeda dari pemerintah Sudan yang coba mencoba meredam konflik, namun justru terjebak dalam kutub kekuasaan militer.

Baca Juga:  Prabowo dan Dubes UEA Bahas Kerja Sama Infrastruktur & Perumahan

Jumlah Korban dan Tindakan Atrocity yang Terjadi
Berdasarkan data yang diverifikasi oleh PBB dan media independen seperti Al Jazeera, kematian diperkirakan mencapai 1.500 hingga 2.200 jiwa dalam tragedi tiga hari tersebut di El-Fasher. Banyak korban yang tewas dalam eksekusi massal tanpa proses pengadilan, sulitnya evakuasi medis, dan serangan langsung ke fasilitas kesehatan yang merupakan pelanggaran hukum internasional. Rumah sakit Tawila yang menjadi tempat pengungsian dan penanganan darurat terus-menerus dibombardir. Selain korban jiwa, ribuan warga luka-luka dan mengalami trauma berat. WHO dan Jaringan Dokter Sudan menyebutkan bahwa kegagalan sistem kesehatan lokal menyebabkan krisis kemanusiaan berujung pada meningkatnya angka kematian anak dan ibu hamil.

Dampak Kemanusiaan dan Kondisi Pengungsi
Pembantaian ini memperparah krisis kemanusiaan yang sudah memburuk selama bertahun-tahun di Darfur. Kamp pengungsian Tawila, yang dikelola oleh Organisasi Migrasi Internasional (IOM) dan badan PBB lainnya, dipenuhi oleh ribuan pengungsi yang melarikan diri dari kekerasan. Namun, akses bantuan vital terhalang oleh blokade yang dilakukan RSF sehingga suplai makanan dan obat-obatan sangat terbatas. Krisis pangan dan kekurangan air bersih membuat warga sangat rentan terhadap penyakit menular. Perserikatan Bangsa-Bangsa mengingatkan bahwa jika akses kemanusiaan tidak segera dibuka, kondisi ini dapat berubah menjadi salah satu bencana kemanusiaan terbesar dalam dekade ini.

Reaksi dan Pernyataan dari Pihak Terkait
Komandan SAF dalam konferensi pers mengutuk keras tindakan RSF yang disebutnya “pembantaian yang tak berperikemanusiaan” dan menuntut pertanggungjawaban penuh. Mohammed Hamdan Hemedeti sebagai pimpinan RSF secara singkat menyampaikan permintaan maaf namun tanpa komitmen nyata menghentikan kekerasan. PBB dan berbagai organisasi kemanusiaan internasional mengecam insiden ini dan menyerukan gencatan senjata serta pembentukan koridor kemanusiaan yang bebas dari intimidasi militer. UNICEF dan WHO juga mengingatkan dunia akan kebutuhan mendesak untuk menyelamatkan nyawa dan mencegah keruntuhan sistem kesehatan lokal.

Baca Juga:  Spesifikasi Rudal Burevestnik Rusia: Terkuat & Hipersonik 2025

Konteks Perang Saudara dan Risiko Genosida di Sudan
Konflik bersenjata antara RSF dan SAF yang meletus sejak 2023 telah menyebabkan lebih dari 400 ribu jiwa meninggal dan jutaan mengungsi. Wilayah Darfur yang sebelumnya menjadi saksi genosida pada dekade 2000-an kini kembali mengalami kekerasan intensif. Penyerangan di El-Fasher ini dinilai sebagai indikasi kuat risiko genosida berulang jika intervensi internasional tidak segera dilakukan. Yale Humanitarian Research Lab mengonfirmasi adanya pola pelanggaran sistematis dan terkoordinasi yang memenuhi definisi genosida menurut hukum internasional.

Respons Internasional dan Implikasi Ke Depan
Meski berbagai peringatan telah disampaikan, komunitas internasional dinilai lamban dalam memberikan respons efektif yang dapat mencegah eskalasi tragedi. Negara-negara tetangga Sudan mengkhawatirkan dampak destabilitas yang meluas ke kawasan regional yang sudah fragile dari segi politik dan ekonomi. Badan-badan PBB bersama organisasi kemanusiaan terus mengupayakan jalur diplomasi dan mediasi, namun sampai saat ini belum berhasil membuka jalur evakuasi dan pengiriman bantuan secara bebas. Risiko konflik berkepanjangan dengan dampak humaniter yang makin memburuk membuka peluang intervensi yang lebih agresif di masa mendatang.

Aspek
Data & Fakta
Sumber
Jumlah Korban Jiwa
1.500 – 2.200 jiwa tewas dalam 3 hari
PBB, Jaringan Dokter Sudan, Al Jazeera
Durasi Pengepungan El-Fasher
Lebih dari 18 bulan
WHO, Media Reuters
Pihak Konflik
RSF dipimpin Mohammed Hamdan Hemedeti, SAF dipimpin Abdel Fattah al-Burhan
Media Kompas, CNN Indonesia
Jumlah Pengungsi di Tawila
Ribuan pengungsi terjebak krisis kemanusiaan
IOM, PBB
Kondisi Kesehatan
Penyerangan rumah sakit, kekurangan medis akut
WHO, Jaringan Dokter Sudan

Pembantaian di El-Fasher bukan sekadar tragedi kemanusiaan, melainkan juga cermin kegagalan berbagai upaya perdamaian dan diplomasi dalam konflik Sudan yang sudah berlangsung bertahun-tahun. Dengan eskalasi kekerasan yang terus berlanjut, masa depan Darfur dan stabilitas nasional Sudan menjadi sangat dipertaruhkan. Langkah konkret dari para aktor internasional dan regional mutlak diperlukan untuk mencegah bencana kemanusiaan yang lebih besar dan membuka jalan bagi penyelesaian damai yang berkelanjutan. Menjelang periode kritis berikutnya, komunitas global harus menanamkan prinsip tanggung jawab perlindungan guna menghentikan penderitaan warga sipil dan menjaga kedaulatan serta hak asasi manusia di Sudan.

Tentang Dwi Santoso Adji

Dwi Santoso Adji adalah financial writer dengan pengalaman lebih dari 8 tahun khusus dalam bidang investasi. Lulus dari Universitas Indonesia dengan gelar Sarjana Ekonomi, Dwi memulai karirnya sebagai analis pasar modal sebelum beralih ke dunia penulisan finansial pada tahun 2016. Selama karirnya, Dwi telah menulis berbagai artikel dan riset mendalam yang dipublikasikan di media nasional dan platform investasi digital ternama. Kepakarannya mencakup analisa saham, reksa dana, dan strategi investa

Periksa Juga

Banjir Parah Vietnam 2024: 13 Tewas & Evakuasi Massal Terkini

Banjir Parah Vietnam 2024: 13 Tewas & Evakuasi Massal Terkini

Banjir ekstrem di Vietnam 2024 memicu 13 korban jiwa dan evakuasi 8.600 warga. Update terbaru kondisi Hue & Hoi An beserta penyebab topan Bualoi & Mat