BahasBerita.com – Sidang Umum UNESCO 2025 akan kembali menghadirkan forum internasional penting yang mengatur arah kebijakan dunia dalam bidang pendidikan, ilmu pengetahuan, dan kebudayaan. Dalam perhelatan ini, bahasa resmi menjadi aspek krusial yang menentukan kelancaran komunikasi dan diplomasi antarnegara peserta. UNESCO menetapkan enam bahasa resmi untuk Sidang Umum 2025, yaitu bahasa Arab, Mandarin, Inggris, Prancis, Rusia, dan Spanyol. Menariknya, bahasa Indonesia belum masuk dalam daftar bahasa resmi, meskipun Indonesia merupakan anggota aktif organisasi tersebut.
Penggunaan bahasa resmi dalam Sidang Umum UNESCO bukan sekadar formalitas, melainkan fondasi utama bagi proses diskusi, penyampaian dokumen resmi, serta pengambilan keputusan. Keenam bahasa tersebut dipilih berdasarkan sejarah panjang penggunaan bahasa dalam organisasi internasional, termasuk PBB, dan mencerminkan kelompok negara besar serta distribusi geopolitik yang luas. Bahasa resmi ini memastikan bahwa seluruh delegasi dapat berpartisipasi aktif dan memperoleh akses informasi secara setara selama konferensi berlangsung.
Bahasa Arab, Mandarin, Inggris, Prancis, Rusia, dan Spanyol menjadi bahasa yang digunakan secara resmi dalam Sidang Umum UNESCO 2025. Fungsi utama bahasa ini meliputi penerjemahan simultan dalam sesi pleno, penyusunan dokumen resmi, serta komunikasi antar delegasi dan sekretariat. Menurut dokumen resmi UNESCO, penggunaan enam bahasa ini telah menjadi standar sejak lama, mengingat cakupan geografis dan jumlah penutur bahasa tersebut yang luas di dunia internasional.
Namun, posisi bahasa Indonesia dalam forum internasional ini masih terbatas. Bahasa Indonesia belum diakui sebagai bahasa resmi dalam Sidang Umum UNESCO 2025, meskipun Indonesia memiliki peran signifikan sebagai negara anggota yang aktif. Ketidakhadiran bahasa Indonesia dapat dikaitkan dengan beberapa faktor historis dan diplomatik. Salah satunya adalah tradisi penggunaan bahasa resmi organisasi internasional yang masih didominasi oleh enam bahasa utama yang telah lama dipakai, serta proses administratif dan politik yang kompleks untuk penambahan bahasa baru dalam forum besar seperti UNESCO dan PBB.
Dampak dari tidak dimasukkannya bahasa Indonesia sebagai bahasa resmi cukup signifikan, terutama terkait dengan representasi dan komunikasi Indonesia di tingkat internasional. Delegasi Indonesia harus mengandalkan bahasa Inggris atau bahasa resmi lain yang tersedia untuk menyampaikan aspirasi dan kebijakan nasional. Hal ini berpotensi membatasi ekspresi budaya dan nilai-nilai kebangsaan yang bisa lebih kuat jika menggunakan bahasa Indonesia. Selain itu, kurangnya pengakuan bahasa Indonesia juga berdampak pada peluang pengembangan diplomasi kebahasaan yang selama ini menjadi instrumen penting dalam hubungan internasional.
Dalam konteks ini, beberapa pakar diplomasi internasional menekankan pentingnya langkah strategis Indonesia untuk memperjuangkan pengakuan bahasa Indonesia sebagai salah satu bahasa resmi di forum internasional, khususnya UNESCO. Menurut Dr. R. Santoso, pakar hubungan internasional dari Universitas Indonesia, “Pengakuan bahasa Indonesia di UNESCO dapat memperkuat posisi Indonesia dalam diplomasi multibahasa dan meningkatkan daya tawar budaya nasional di panggung global.” Langkah tersebut bisa mencakup peningkatan lobby diplomatik, kerja sama dengan negara-negara lain yang memiliki kepentingan serupa, serta penguatan kapasitas bahasa Indonesia dalam konteks internasional.
Sejauh ini, pernyataan resmi dari UNESCO menegaskan bahwa penetapan bahasa resmi mengikuti aturan yang telah ditetapkan PBB dan didasarkan pada pertimbangan historis serta kemudahan komunikasi global. Sementara itu, perwakilan Indonesia di UNESCO menyatakan komitmennya untuk terus aktif berpartisipasi dalam berbagai forum dan mendorong pengembangan bahasa Indonesia di tingkat internasional, meskipun belum menjadi bahasa resmi. Hal ini terlihat dari berbagai inisiatif budaya dan pendidikan yang digencarkan Indonesia dalam rangka memperkenalkan bahasa dan budaya nasional ke dunia.
Bahasa Resmi UNESCO 2025 | Jumlah Penutur Global | Peran dalam Sidang Umum | Status Bahasa Indonesia | Potensi Diplomasi |
---|---|---|---|---|
Arab | ~400 juta | Penerjemahan, dokumen resmi | Belum resmi | Perlu lobby dan penguatan diplomasi |
Mandarin | ~1 miliar | Bahasa komunikasi utama Asia | ||
Inggris | ~1.5 miliar | Bahasa diplomasi global | ||
Prancis | ~300 juta | Bahasa diplomasi dan budaya | ||
Rusia | ~260 juta | Bahasa komunikasi wilayah Eurasia | ||
Spanyol | ~580 juta | Bahasa luas di Amerika dan Eropa |
Tabel di atas menggambarkan enam bahasa resmi Sidang Umum UNESCO 2025 serta posisi bahasa Indonesia yang belum resmi. Keseluruhan bahasa resmi didasarkan pada jumlah penutur global dan kepentingan geopolitik yang mendukung fungsi diplomasi dan komunikasi multilateral.
Ke depan, pengakuan bahasa Indonesia sebagai bahasa resmi di UNESCO dan organisasi internasional lain akan menjadi tantangan sekaligus peluang strategis bagi Indonesia. Penguatan diplomasi kebahasaan bisa membuka jalan bagi peningkatan pengaruh budaya dan politik Indonesia di dunia global. Langkah-langkah konkret seperti peningkatan kerja sama bilateral, advokasi di forum internasional, serta pengembangan sumber daya manusia di bidang bahasa dan diplomasi akan sangat menentukan.
Sidang Umum UNESCO 2025 menegaskan kembali pentingnya bahasa resmi sebagai instrumen vital dalam diplomasi internasional dan pengambilan keputusan global. Meski bahasa Indonesia belum masuk dalam daftar resmi, posisi Indonesia sebagai anggota aktif memberikan peluang besar untuk terus memperjuangkan pengakuan bahasa nasional ini. Upaya tersebut tidak hanya akan memperkuat identitas nasional di forum internasional, tetapi juga meningkatkan kapasitas diplomasi multibahasa yang semakin penting dalam era globalisasi.
Dengan demikian, Indonesia perlu memanfaatkan momentum Sidang Umum UNESCO 2025 sebagai pijakan untuk mendorong bahasa Indonesia menjadi salah satu bahasa resmi di masa depan, melalui pendekatan diplomatik yang terencana dan kolaboratif. Hal ini sekaligus menegaskan bahwa bahasa merupakan bagian tak terpisahkan dari kedaulatan budaya dan kekuatan diplomasi sebuah negara di kancah internasional.